• Mengulas Kasus dr.Ayu dan Kawan-kawan

    Assalamualaikum Sobat! Selamat hari Senin dan Selamat beraktifitas!

              Sobat, kali ini aku mau posting tentang kasus dr.Ayu dkk, yang beberapa waktu lalu sempat aku tuliskan juga di blog ini. Postingan kali ini berbeda dengan sebelumnya, karena di postingan ini aku menyuguhkan ulasan dan peninjauan tentang kasus dr.Ayu dkk. Draft peninjauan kasus dr.Ayu ini dibuat oleh dr.Laila seniorku di Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Langsung disimak aja ya sobat, Cekidot!

    -------------------------------------------------------------------------------------------
    Selamat siang.

    Saya dan teman teman disini berusaha mengkonsep draft tentang kasus dr.Ayu dkk agar memberikan pencerahan terhadap teman teman sejawat yang mungkin ada yang masih bingung karena pengalihan issue oleh media, mari kita baca hasil putusan sidang MA Nomor 365 K / Pid / 2012 terhadap dr.Ayu dkk (bisa dilihat di http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/b466388ef4d7f25ab94c033c556ae2f0/pdf)

    Untuk itu, draft awal ini masih harus di lengkapi lagi. Salam, Dr.L Aidi 

    ------------------------------------------------------------------------------------------

    Saat ini akibat beberapa pihak juga media, masyarakat teralihkan dari inti kasus sebenarnya. Terjadi blow up tentang tanda tangan di inform consent yang palsu, SIP dan Sebagai ringkasan, saya akan meringkas pasal yang diajukan jaksa untuk menjerat dr. Ayu dkk

    #Diancam pidana dalam Pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    "Bahwa Para Terdakwa, secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain yaitu korban."

    #Diancam pidana dalam Pasal 76 Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
    "Bahwa Para Terdakwa, secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, dengan sengaja telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP)."

    #Diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    "Bahwa Para Terdakwa, secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, dengan sengaja telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan memakai surat (Inform Consent) yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak dipalsu dan jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian."

    Saya informasikan, bahwa pasal yang terrbukti menjerat dr. ayu (Menurut hakim Artidjo) adalah pasal 359 hukum pidana KUHP yakni pasal yang sama seperti pembunuh. MA sebenarnya mendasarkan putusannya pada 2 alasan yang tidak masuk akal lagi karena tidak berhubungan langsung dengan kematian pasien itu sendiri sehingga belum memenuhi unsur pidana dan menimbulkan reaksi keras dari para dokter Indonesia, yaitu:

    Dasar putusan hakim (dari media online) :
    Mengatakan bahwa ada hubungan sebab akibat (kausatif) antara kematian yang disebabkan emboli dengan tindakan dokter.

    Juga: 
    1. Tidak memberitahukan kemungkinan pasien akan meninggal (akan kita bahas di bagian inform konsent)
    2. Tidak melakukan pemeriksaan penunjang sebelum operasi yaitu foto rongent dada dan rekam jantung)

    *tidak perlu saya jelaskan disini, bahwa kita semua tentu tahu, emboli BUKAN disebabkan operasi, namun adalah salah satu komplikasi dan resiko operasi. Penyebab kematian adalah masuknya udara ke bilik kanan jantung. Menurut jaksa berdasarkan keterangan saksi Ahli dr. JOHANNIS F. MALLO, SH. Sp.F. DFM.: "Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri. Bahwa infus dapat menyebabkan emboli udara tetapi KECIL KEMUNGKINAN dan hal tersebut dapat terjadi karena efek venturi, kemudian kapan efek venturi terjadi yaitu korban meninggal dunia pukul 22.20 WITA, infus 20 tetes = 100 cc/ menit, operasi dilakukan pukul 20.55 WITA, anak lahir pukul 21.00 WITA dalam hal ini udara sudah masuk terlebih dulu kemudian dilaksanakan operasi, maka 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc udara."

    Biasanya ketika infus kosong, darah yang masuk ke pipa/selang infus. Sementara efek venturi, udara yg terbawa ke dalam darah. Sangat tidak mungkin dr. Ayu cs dengan sengaja menyuntikkan udara ke dalam pembuluh darah pasien dan kalaupun terjadi kesalahan prosedur mengenai Infus, sudah ada saksi ahli kedokteran di persidangan yang menyatakan tidak ada kesalahan prosedur. Majelis Kehormatakan Etik Kedokteran juga berpendapat serupa.

    * Juga apakah dalam setiap keadaan emergency diperlukan pemerikasaan penunjang yang lengkap? 
    Hal ini tidak diperlukan berdasarkan prosedur tindakan gawat darurat yang harus cepat, dan segera. Jika tidak dilakukan, bayi dan pasien terancam jiwanya. Hakim Agung melakukan kesalahan FATAL ketika menganggap dokter Ayu salah karena tidak memeriksa jantung dan foto rontgen saat kedapatan pasiennya mengalami takikardi dan detak jantung yang meningkat. Taki kardi dan detak jantung meningkat paska operasi adalah merupakan manifestasi klinis gangguan emboli yang mengganggu jantung. Semua gangguan yang berat pada tubuh pada akhirnya selalu menganggu fungsi jantung. Hal ini yang disalah persepsikan oleh hakim agung bahwa dokter tidak mencegah dengan memeriksa jantung sebelumnya padahal pasien tidak mempunyai riwayat jantung sebelumnya. Dalam keadaan ini pemeriksaan jantung dan rontgen paru tidak dibutuhkan. bukankah dalam operasi selalu ada alat monitor yang tidak hanya merekam jantung tapi juga saturasi oksigen dsb. Kalaupun seandainya pasien ada riwayat gangguan jantung dalam keadaan darurat hal itu tidak harus dilakukan selama kondisi jantungnya tidak masalah sebelumnya.

    Pak hakim tidak mengerti bahwa dalam kasus sengketa medis ada 2 hal yang harus dipahami, apakah terjadi komplikasi atau murni malpraktek kerena pelanggaran prosedur. Dan MKEK lah yang berwenang menentukan hal tersebut. 
    Kalimat kalimat dalam putusan itu sangat aneh logikanya. Hubungan sebab akibatnya hanya sambungan2 kalimat saja. MKEK (Majelis Kehormatan Etika Kedokteran) yang berwenang menyatakan suatu kasus malpraktek atau bukan, sudah menyatakan bahwa tindakan dr Ayu sudah sesuai prosedur standar medis. 

    Sosok senior dan integritas tinggi Hakim Agung Artdjo bukan merupakan jaminan kehebatan kiprah hukumnya bila mempunyai keterbatasan dalam menilai tindakan medis seseorang terdakwa. PK kasus ini harus disetujui, karena dokter tidak bisa diminta bertanggung jawab atas sesuatu yg tidak dapat dia prediksi, sebagaimana dengan ribuan orang yg meninggal akibat tsunami, dan bencana alam lain, yang berarti pihak geologi juga mal praktek krn lalai.

    * Hakim menganggap terjadi pembiaran pasien selama 8 jam
    Mari kita baca kronologi kasus ini seperti tertera pada press conference POGI dari website resminnya, ditulis kronologi nya seperti ini :
    • Pasien Ny. SM 26 tahun G 2 P 1 A 0
    • Masuk di RS atas rujukan puskesmas karena riwayat vacum
    • Pada waktu masuk didiagnosis sebagai : Hamil anak kedua 40 – 41 minggu, dalam persalinan kala pertama,Janin tunggal hidup letak kepala, Rencana : Persalinan secara alamiah (Partus per vaginam)
    • 8 Jam kemudian : Pasien ingin mengejan, Diagnosis persalinan kala II, Sikap : pimpin meneran 
    • 30 Menit kemudian : Pada pemeriksaan tidak ada kemajuan dan tampak tanda gawat janin (mekonium), Kesan : Partus tak maju dan gawat janin, Sikap : Seksio Cesaria Cito
    • 2 Jam kemudian : Operasi dimulai,Saat insisi keluar darah kehitaman,Lahir bayi wanita 4100 gr, NA 1 dan 4,Pasca operasi pasien terus memburuk,20 Menit kemudian pasca operasi pasien meninggal.
    Bisa kita lihat pasien dikirim karena riwayat vacum (anak sebelumnya lahir dengan cara divakum): artinya ini bukan indikasi dilakukan SC segera, dokter telah memeriksa dan memperkirakan bisa melahirkan secara normal. OK pertanyaan terjawab, mengapa di RS dipimpin persalinan normal. Artinya ini BUKAN kasus penelantaran.
    Namun, hingga pukul 18.00 Wita, itu tak terjadi sehingga diputuskan operasi.

    Semua yang dilakukan Dr Ayu dkk tidak ada yang salah seturut disiplin ilmu kedokteran. Persalinan normal bisa lama prosesnya. Persalinan kala pertama itu artinya sejak keluar lendir darah sampai pembukaan lengkap. Ini yang bisa berjam2 prosesnya. Persalinan kala kedua itu sejak pembukaan lengkap sampai bayi dilahirkan. Dalam kasus ini masalah datang ketika bayi ditolong dilahirkan. Ada gawat janin. Keputusan diambil dengan cepat, dilakukan SC, namun pasien meninggal.

    ---------------------------------------------------------------------

    Nah mengenai SIP, lalu tanda tangan di surat inform consent palsu yang malah banyak dibahas- dijadikan topik utama dalam hampir tiap wawancara dengan keluarga pasien (akibat siluman Marius) sehingga mengaburkan essensi kasus. Hal ini tentu dapat menyesatkan masyarakat Indonesia karena melenceng dari substansi hukum yang sebenarnya. Mari kita coba ungkap mengenai dua isu itu supaya tidak bertambah bingung: 

    #Pemalsuan tanda tangan korban, dan ibu korban mengaku tidak pernah menandatangani inform consent:

    - Ibu korban didesak oleh Deddy Corbuzier dalam acara talkshow Hitam Putih untuk memastikan apakah benar bahwa sang ibu belum menandatangani surat persetujuan tindakan medis sebelum anaknya dioperasi. Ternyata si ibu sempat bilang tidak, baru kemudian mengatakan pernah menandatanganinya setelah Deddy mendesaknya dengan cara yang cerdas. 
    Melihat keterangan ibu korban yang berbelit-belit dan ketauan berbohong di acara Hitam Putih tadi malam, maka harusnya ibu korban juga bisa dituntut dengna tuntutan memberikan keterangan palsu dan pencemaran nama baik terhadap dr. Ayu dkk: http://dib-online.org/menguak-kasus-malapraktek-ala-deddy-corbuzier/

    - Dalam tiap wawancara juga melenceng pada tandatangan pasien yang diduga dipalsukan oleh para dokter berdasarkan kekisruhan yang diembosi dr.marius yang berpegang pada pemeriksaan Laboratorium kriminalistik Cabang Makassar pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011, menyatakan bahwa tanda tangan atas nama SISKA MAKATEY alias JULIA FRANSISKA MAKATEY pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan/Spurious Signature: 

    "Bahwa ternyata tanda tangan korban yang berada di dalam surat persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi yang diserahkan oleh dr. HENDY SIAGIAN untuk ditandatangani oleh korban tersebut berbeda dengan tanda tangan korban yang berada di dalam KTP dan Kartu Askes. "

    Ketua IDI, dr Zaenal Abidin mengatakan dr Ayu tidak mungkin lalai memberitahukan akan melakukan operasi termasuk resiko kematian karena itu sudah menjadi protap di setiap rumah sakit. Tidak mungkin ada suatu operasi besar apalagi oeprasi besar membelah perut. tidak memberitahukan kepada keluarga. Itu tidak mungkin tidak betul. Apakah keluarga yg menunggu pada tidak tahu kalau penderita akan dioperasi, masa merekatidak ada yg tahu kalau di geledek keluar dari ruang bersalin menuju kamar operasi? konyol. Bahkan operasi kecil pun keluarga harus tahu yang bersangkutan akan dioperasi. Sudah protap yang ada di setiap rumah sakit dan kamar oka, keluarga Siska bahkan berada di rumah sakit dan mengetahui akan ada operasi terhadap Siska. Andaikan benar tidak ada keluarga pasien yg tahu kalau penderita di geledek menuju kamar operasi, mengapa kemudia ibu korban mengaku di acara Hitam Putih dia sudah menandatangani (dan bilang tidak tau isi surat.apakah wajar seorang dewasa sehat mau begitu saja menandatangani sebuah surat pernyataan)? keluarga pasien benar benarpenuh dengan kebohongan. 

    Dalam Pengadilan Negeri Manado sudah terbukti bahwa tandatangan itu asli sehingga sidang membebaskan dr. Ayu dkk secara murni. Pembuktiannya adalah, tandatangan pasien tidak identik dengan tandatangannya yang lain oleh karena pasien sedang dalam keadaan kritis (berubah posisi dariduduk ke tidur saja tandatangan tentu berubah apalagi posisi kritis dan kesakitan) sehingga tidak dapat menandatangani surat persetujuan tindakan medis dengan baik persis seperti tanda tangannya di KTP. Oleh sebab itu MA tidak bisa menjerat pasal 263 pada dr. Ayu. 

    Kasus ini seperti nya akan panjang, karena apabila PK dokter ayu dikabulkan, dr.ayu dkk bisa saja menuntut balik atas dasar memberikan kesaksian palsu dan pencemaran nama baik.

    PERTANYAAN PERTAMA TERJAWAB : tidak ada pemalsuan inform consent ataupun keluarga tidak diberitahu tentang resiko operasi (itu semua ada di inform consent)

    # Dokter Ayu harus dipidana karena Tidak ada SIP 

    Yang ini sejawat harus faham. Tadinya Jaksa berusaha menjerat dokter ayu dengan 76 Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran KUHP yang berbunyi : " Setiap dokter/dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki SIP sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama (3 tahun) atau denda paling banyak seratus juta rupiah." 

    Mengenai ijin, Dokter Ayu tidak memiliki ijin praktek sebagai dokter spesialis (benar), namun apabila dikatakan Terdakwa tidak punya kompetensi operasi karena hanya residence atau mahasiswa dokter spesialis dan tak punya surat izin praktek (SIP)
    Ketua POGI: Tidak benar karena tidak mempunyai SIP lalu dikatakan Mereka memiliki kompetensi . Pendidikan kedokteran adalah pendidikan berjenjang. Dr. Ayu adalah resident chief tingkat 4 yang kompetensi nya melakukan operasi caesar hampir sama dengan dokter spesialis. 

    Ini sebuah kesalahan fatal apabila dr. ayu dkk memang seorang dokter yang bekerja di RS tersebut. Surat izin praktek bagi dokter Residen diatur dalam Permenkes no 2952/Menkes/PER/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran:
    Dalam BAB II Tentang IZIN PRAKTIK. Bagian 1: 
    * Pasal 2
    (1)Setiap Dokter dan Dokter Gigi yang menjalankan praktik kedokteran wajib memiliki SIP.
    (2)SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
    (3)Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam memberikan SIP harus mempertimbangkan keseimbangan antara jumlah Dokter dan Dokter Gigi dengan kebutuhan pelayanan kesehatan.

    * Pasal 3 ayat:
    (3)SIP bagi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) atau peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis (PPDGS) berupa SIP dokter atau SIP dokter gigi dengan kewenangan sesuai kompetensi yang ditetapkan oleh Ketua Program Studi (KPS).
    (4)SIP bagi peserta program dokter dengan kewenangan tambahan yang memperoleh penugasan khusus di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu berupa SIP dokter dengan kewenangan sebagaimana tercantum dalam surat keterangan kompetensi yang dikeluarkan oleh Kolegium.

    Pembuatan surat izin praktek bagi residen dibuat secara kolektif oleh institusi pendidikan dan kemungkinan waktu itu belum beres, tapi rumah sakit sudah membutuhkan tenaga dokter tersebut. Jadi kesalahan ada di Institusi Pendidikan. Dalam hal ini posisi mereka adalah dokter residen dimana kedudukan mereka diatur berdasarkan Permenkes RI no 9 thn 2013tentang Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan). Isi permenkes itu adalah intinya: (http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/inc/buka.php?czozNToiZD1ibisyMDEzJmY9Ym4xNjUtMjAxM2xhbXAucGRmJmpzPTEiOw=%3D)

    1. Direktur rumah sakit membuat Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas (SPMT) berdasarkan tanggal pengangkatan Penugasan Khusus Residen serta segera mengusulkan insentif sesuai ketentuan pada peraturan perundang-undangan ini.
    2. Direktur rumah sakit lokasi penugasan bertanggungjawab dalam pendayagunaan residen termasuk menetapkan program dan target kinerja yang harus dilaksanakan oleh residen, serta penilaian kinerja yang bersangkutan
    3. Dinas kesehatan kabupaten/kota menerbitkan Surat Ijin Praktek (SIP) dengan kewenangan sesuai surat keterangan kompetensi bagi residen yang melaksanakan penugasan khusus, yang berlaku untuk tempat serta waktu tertentu.

    NAMUN,

    Ketiadaan SIP (dan STR) tidak boleh dikenakan pasal pidana seperti Pasal 75 dan 76 Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran . Seorang dokter memang butuh Surat Izin Praktek (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR). Namun ketiadaan kedua surat itu lebih merupakan pelanggaran ketentuan administratif ketimbang perbuatan pidana. Sehingga tidak pada temaptnya seorang dokter yang tak memiliki SIP dan STR lengkap dijatuhi pidana penjara.

    KUHP ini sudah di Judisial Review pada tahun 2007 lalu di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan enam orang dokter dan seorang pasien (Prof dr. Anny Insfandyarie Sp. An dkk). Bahwa berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi No 4/PUu-V/2007 Perihal Pengujian UU No 29 Tahun 2004 tentang praktik Kedokteran Terhadap UUD Negara RI thn 1945, diantaranya terhadap pasal pasal 75 ayat (1), pasal 76, dan pasal 79 huruf c dinyatakan Mahkamah bahwa undang undang tersebut TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT.


    Pelanggaran yang bersifat administratif seperti belum adanya surat izin praktek, seharusnya tidak dimasukkan ke hukum pidana, tapi diberikan sangsi administratif juga. Seperti dicabut izin prakteknya, tidak boleh praktek dalam jangka waktu tertentu, atau disuruh sekolah lagi. Namun jika dibuktikan kelalaian didalamnya, jeratlah dengan hukum yang sesuai yaitu Permenkes no 2952/Menkes/PER/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran. (http://ngada.org/bn671-2011.htm)

    Dalam Bab V tentang Pembinaan dan Pengawasan:

    * Pasal 31
    (1)Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif terhadap pelanggaran Peraturan Menteri ini.
    (2)Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa peringatan lisan, tertulis sampai dengan pencabutan SIP.
    (3)Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam memberikan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlebih dahulu dapat mendengar pertimbangan organisasi profesi.

    PERTANYAAN KEDUA TERJAWAB Surat Izin Praktek/SIP tidak boleh dijerat dengan hukum pidana atau bukan merupakan malpraktik, melainkan hanya pelanggaran administrasi.

    -----------------------------------------------------------------------

    Kesimpulan: 
    • Sudah ada saksi ahli di sidang PN Manado. Saksi menyatakan, Ayu dan dua rekannya tidak melakukan kesalahan prosedural
    • Mahkamah Kode Etik Kedokteran (MKEK) Pusat juga memutuskan Ayu tidak melanggar kode etik

    Berdasarkan fakta di atas kita tentu bisa menginterpretasi apa yang terjadi. Terjadi Kriminalisasi terhadap profesi kita. Mari tambah pengetahuan kita agar bisa mengedukasi masyarakat bahwa dampak kasus ini akan semakin besar di kemudian hari. Masih ada celah untuk mengubah vonisis kasus ini melalui PK.

    -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

              Nah, bagaimana menurut sobat? Mudah-mudahan kasus ini segera selesai dan memberikan hasil yang seadil-adilnya ya sobat!

    Wassalam..

  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Kepada Pengunjung Blog ini di mohon kesediaannya untuk berkomentar di bawah ini...
    Dan sertakan URL anda bila perlu.. :)

    Let's Discuss with Me!

    You can discuss about health, graphic design, bussiness, marketing, etc.

    ADDRESS

    28300, Pekanbaru, Riau, Indonesia

    EMAIL

    heruardilaputra@gmail.com
    heruardilaputra@yahoo.com

    TELEPHONE

    +201 478 9800
    +501 478 9800

    SOCIAL MEDIA

    Facebook: Heru Ardila Putra
    Instagram: heruardila